Angin Merindu
Tinta pena telah mengering pada lembaran-lembaran catatan hati
Ketentuan telah disimpan pada hembusan angin sepi.
Secercah bait kata petani pada padi yang mulai bergoyang. Menatap kosong pada jejeran sawah yang mulai melambai-lambai lemah gemulai.
Angin pegangi tangan senja yang kian menopang dagu. Pada masa yang tak kunjung menyapa
Deretan padi tak sekejap berdialog pada wajah senja.
Yang kini berpagut desak pada Hawa dingin
Memendam ngilu dan pilu, yang semakin terbungkam kelu
Dekapan ini, gelap timbuni angin anganku
Pada sebagian rumah yang tak berjendela
Hingga kaki ini menapak pada setapak jalan untuk melirik rumah papan yang beralaskan tikar pandan hijau nan tua
Jerit-jerit rindu angin telah membisu pada pelataran tanah depan
Kini terdengar hanyalah sunyi angin malam yang kecut..
Yang makin berbisik pada alam dunia
Dan tak mau pula diam, sungai yang kian mengalir tenang pada tepian desa permai
Hidup...hitam putihku dalam belaian alam yang menggigil
Yang kian merindu pada sajak angin desa
Rampung, yang berakhir menjadi kelabu
Hingga jasad ini telah mengebas angin malam desa yang kian merunduk malu
Dalam jeladri persakitan tiada daya yang terupaya
Tiada harap yang bermuara pada angin desa yang merindu. Tapi kini mereka terdera pada rindu yang kian melonjak sepi di sudut desa pedalaman
Hingga mata dan telingaku kini makin jauh pada nyanyian burung dan tarian nyiur hijau yang melenggak lenggok pada sawah yang terbentang
Ya inilah ceritaku pada angin yang merindu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar